Tuesday 25 January 2011

Kuru, Efek Mengerikan Praktek Kanibalisme

Isu kanibalisme modern yang terjadi di dunia seperti dalam dunia kriminalitas rasanya sudah bukan menjadi sesuatu yang menghebohkan lagi. Banyak berita di tanah air yang memberitakan tentang hal ini.

Beberapa tahun terakhir, berbagai isu kanibalisme menjadi berita di berbagai media, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain seperti di Afrika atau Rusia. Untuk Indonesia, yang paling menghebohkan adalah kisah Soemanto satu dekade lalu. Kasus ini berhasil mencuri perhatian berbagai media. Yang masih fresh berita seorang lelaki di Sumatra. Demi ilmu hitam yang sedang dipelajarinya, ia tega membunuh kawan sendiri dan memakan jantung korban mentah-mentah.

Kanibalisme memang bukan barang baru. Sebelumnya, aku pernah menulis tentang kanibalisme yang masih dipraktekkan di India. (Baca: Kisah Si Pemakan Mayat)
Di masyarakat primitif, praktek kanibalisme sudah menjadi bagian dari budaya. Pada jaman modern ini, praktek kanibalisme masih ada tetapi dilakukan secara diam-diam. Umumnya, hal ini berkaitan dengan praktek satanisme, sebagai syarat dalam menuntut ilmu hitam. Namun, ada juga praktek kanibalisme yang dilakukan sebagai upaya untuk bertahan hidup. Misalnya seperti yang terjadi pada tujuh pendaki yang hilang di awal tahun 1970-an atau di Korea Utara saat terjadi bencana kekurangan pangan yang ekstrim.





Kanibalisme Sebagai Penghormatan
Ada satu kebiasaan yang aneh sekaligus menyeram yang berkaitan dengan kanibalisme. Kanibalisme tidak dilatarbelakangi tindak kejahatan tetapi dilakukan demi menghormati jasad yang baru meninggal. Dengan kata lain, kanibalisme sebagai pengganti penguburan.
Praktek memakan mayat anggota keluarga menjadi simbol penghormatan terhadap mendiang. Dengan memakannya, almarhum diharapkan akan terus berada di dalam kehidupan keluarga yang ditinggalkan dan menjadi pelindung keluarga. Salah satu suku terpencil di Papua New Guinea melakukan praktek kanibalisme seperti ini. Dampak mengerikan dari kehidupan kanibal mereka pernah ditayangkan salah satu stasiun televisi milik pemerintah Australia.

Ilustrasi 1
Dua orang wanita berusaha mengangkat seorang anak laki-laki yang tubuhnya hanya tinggal kulit yang membungkus tulang. Wajahnya nyaris seperti tengkorak hidup. Mereka memegang tangan anak itu. Dengan perlahan, mereka mengangkat tubuh yang tebaring di atas sebuh tikar lusuh di halaman rumahnya. Namun, anak yang berusia sekitar 12 tahun itu kembali melorot, lunglai. Matanya sayu, nyaris tiada tanda kehidupan. Tatapannya kosong. Yang mengerikan, tiba-tiba dari mulutnya keluar suara tertawa. Tawa seram yang seolah keluar dari alam lain. Mulutnya menyeringai.
Ilustrasi 2
Seorang perempuan mencoba berdiri tegak. Namun, kakinya nampak terseok-seok dan tubuhnya menggigil hebat. Dia mencoba berjalan. Tubuhnya yang sangat rapuh membuat badannya bergetar hebat ketika ia melangkahkan kaki. Mengetahui keadaannya, wajah wanita tersebut tidak menampakkan kesakitan. Jusrtu, dari mulutnya yang tebal, perlahan-lahan terbuka dan mulai tertawa. Lagi-lagi, tawa tersebut terdengar kosong dan menyeramkan.
Seorang bule nampak mendokumentasikan beberapa peristiwa tersebut. Ia juga mewawancarai seorang kakek tua. Dengan gamblang, si kakek menggambarkan keadaan desa serta masyarakatnya. Pak Tua tersebut merupakan kepala suku. Menurut penuturannya, telah terjadi wabah penyakit mengerikan yang telah menelan beberapa korban, kebanyakan perempuan dan anak-anak. Konon, ia menambahkan, wabah ini diakibatkan oleh ulah dukun santet yang membalas dendam dengan melakukan praktek satanisme dan melakukan serangan santet kepada warganya.

Benarkah demikian...??

Dear KoKiers,
Suatu penyakit aneh muncul di Papua New Guinea pada awal tahun 1900 sampai akhir tahun 1950-an. Banyak antropologis dan pemerintah setempat melaporkan wabah penyakit aneh nan mengerikan yang sudah merenggut puluhan korban jiwa.

Penyakit yang mewabah itu adalah penyakit yang berkaitan dengan kelainan otak yang berujung pada kematian. Penyakit aneh ini dikenal sebagai Kuru. Wabah ini telah menjalar di Suku Fore Selatan. Penyakit Kuru menyerang sel otak dan sangat berbahaya. Rupanya, Kuru berhubungan dengan kebiasaan makan mayat yang dipraktekkan oleh suku tersebut.

Kuru pertama kali ditemukan di sukuFore yang terletak di daerah pegunungan sebelah tenggara Papua New Guinea saat seorang administrator asal Australia menjelajah daerah tersebut pada tahun 1953-1959. Kuru atau Keru dilaporkan oleh W. T. Brown yang termuat di Kainantu Patrol Report No 8 of 1953/54 (13 January 1954 - 20 February 1954). Ia menuliskan tanda-tanda penyakit kuru berupa rasa lemah yang luar biasa sehingga sang penderita tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya berbaring.

Brown pernah menyaksikan langsung salah seorang penderita kuru. Ia pun menggambarkan penderitaan sang korban. Salah seorang penderita yang berjenis perempuan tidak mampu berdiri karena kondisinya sangat lemah. Tubuhnya bergetar hebat. Ketika diberi obat, penderita masih bisa menelan walaupun hanya sedikit. Tetapi begitu diberi makanan, ia tidak mampu menelan sama sekali dan hanya berbaring. Tubuhnya semakin lemah dan menggigil semakin hebat sebelum akhirnya ia meninggal dunia.

Sesuai adat setempat, masyarakat Fore Selatan memang melakukan praktek kanibalisme pada saat itu. Praktek ini sebagai bentuk dari ritual pemakaman mayat anggota keluarga. Inilah yang disinyalir menjadi penyebab penyakit kuru.
Setelah melakukan berbagai penelitian, akhirnya para ilmuwan berkesimpulan penyakit kuru sebagai penyakit prion, penyakit yang berhubungan dengan syaraf. Penyakit ini sudah banyak diteliti oleh para ilmuwan, seperti Lindenbaum, Zigas, dan Gadjusek. Mereka melakukan penelitian di New Guinea pada tahun 1957 untuk mempelajari secara intens tentang penyakit ini. Epidemi Kuru mencapai puncaknya pada awal tahun 1960 dengan merenggut korban lebih dari 1.100 orang.

Penderita kuru biasanya kehilangan koordinasi sehingga membuatnya goyah saat berjalan. Kondisi ini diikuti gejala lain seperti munculnya tremor, sakit kepala, nyeri sendi, kehilangan nafsu makan serta perubahan suasana hati yang parah. Perubahan suasana hati yang parah ini seperti rasa marah yang secara seketika berubah menjadi serangan tawa yang menakutkan. Tawa yang tidak normal sehingga lebih sering terdengar menyeramkan. Itulah sebabnya, penyakit juru juga disebut penyakit laughing death. Setelah melakukan banyak penelitian ditemukan orang yang menderita penyakit ini mirip dengan penyakit sapi gila atau bovine spongiform encephalopathy.

Penyakit sapi gila ditularkan akibat mengonsumsi otak dan jaringan tulang belakang sapi yang sudah terinfeksi. Sedangkan penyakit kuru disebabkan oleh konsumsi jaringan otak manusia yang sudah terinfeksi prion (protein atau partikel yang menyerang). Kondisi ini disebabkan oleh kebiasaan suku Fore yang kanibal atau mengonsumsi daging manusia. Jenasah penderita kuru dianggap sebagai sumber makanan. Konon, lapisan lemak korban yang masih segar atau baru meninggal mirip dengan daging babi.
Penyakit mengerikan ini lebih banyak diderita oleh kaum wanita dan anak-anak. Hal ini disebabkan kaum wanita yang bertugas menjagal jenasah dan mengolahnya menjadi santapan lezat jika ada kerabat dekat yang meninggal. Otak yang dianggap makanan lebih lezat diberikan kepada wanita yang menyiapkan makanan. Sedangkan kaum laki-laki biasanya mengambil daging pilihan. Selain otak, wakita dan anak-anak juga mengonsumsi jerohan jenasah.

Proses dari mempersiapkan ubo rampe untuk mengolah jenasa memerlukan waktu lama. Konon, kontak dalam waktu lama dengan daging manusia yang terkontaminasi akan sangat berisiko tinggi untuk tertular.
Ciri khas penyakit kuru adalah adanya gumpalan molekul protein di dalam otak. Masa inkubasi dari penyakit ini panjang, bahkan sampai puluhan tahun. Sehingga, dibutuhkan waktu beberapa tahun setelah infeksi awal hingga gejalanya muncul. Lamanya masa inkubasi membuat mereka tidak menyadari bahwa penyakit kuru muncul akibat kebiasaan mereka menyantap mayat. Tidak ada pengobatan untuk penyakit ini. Satu-satunya cara untuk mencegahnya dengan menghentikan praktik kanibalisme.

Masyarakat yang mulai mengetahui kebiasaan kanibal mereka sebagai biang keladi penyakit kuru, mereka mulai enggan makan jenasah. Mereka takut terjangkit penyakit kuru. Kemudian, berhembus isu penyakit kuru disebabkan oleh santet atau tenung, bukan akibat makan daging manusia. Penduduk pun mulai menyalahkan orang-orang yang dianggap sebagai dukun.

Jika ada anggota keluarga yang meninggal, mereka akan sibuk mencari orang yang dianggap telah menyantet keluarganya hingga terjangkit penyakit kuru. Pengalihan isu penyebab penyakit kuru membuat masyarakat Fore melanjutkan kebiasaannya mengkonsumsi mayat anggota keluarga yang meninggal. Little did they know bahwa praktek kanibalismelah penyebab utama penyakit mengerikan ini.

Papua New Guinea memiliki sekitar 700 suku yang kebanyakan masih hidup primitif seperti di jaman batu. Mereka tinggal di hutan-hutan lebat di pondok-pondok kayu sederhana.
Pemerintah kolonial Australia pada saat itu berusaha keras meneliti penyakit kuru. Setelah diketahui penyebab utama penyakit aneh nan mengerikan ini memang ada hubungannya dengan kanibalisme, mereka melakukan berbagai upaya kampanye untuk mencegah penyebaran penyakit ini, memberikan pendidikan dan ujung-ujungnya untuk menghentikan praktek kanibalisme.

Masyarakat Fore harus menghentikan praktek kanibalisme segera jika tidak ingin wabah kuru memusnahkan semua penduduk. Hal ini terbukti benar. Ketika praktek kanibalisme sudah tidak dipraktekkan lagi, penyakit kuru pun ikut musnah. Dewasa ini sudah tidak pernah ditemukan lagi penyakit kuru.


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment